Rabu, Juli 01, 2009

Terlalu Vulgar Memotret Remaja

Temannya jadi pekerja seks, satu lagi tampil di VCD porno, sedangkan dia menjadi pengarang sukses dengan mengangkat kisah temannya. Inilah yang menurut film "Virgin" potret remaja kini. Masa sih?

Virgin, film yang dirilis dengan lanjutan judul "Ketika Keperawanan Dipertanyakan" niatnya ingin menunjukkan potret remaja metropolitan yang didalamnya tumbuh fenomena "rusak bersama". Di tengah semua remaja-remaja yang rusak itu, ada seorang remaja yang digambarkan tetap teguh memegang nilai, dalam artian ini yang dimaksud adalah keperawanan.
"Bisa dibilang itulah potret remaja kita sekarang. Jaman sudah berubah, kita harus berani buka mata kita. Kita harus berani lihat luka kita, kalau realitasnya sekarang memang seperti ini," ujar sutradara Hanny R Saputra usai pemutaran perdana "Virgin" di Plaza Senayan, Selasa (9/11/2004).
Virgin mengangkat tiga orang toko! h. Stella, anak orang kaya, yang seperti di film-film lainnya digambarkan kurang perhatian dan akhirnya menjadi anak broken home. Temannya, Ketie adalah anak yang lahir dari hubungan di luar nikah. Dia berasal dari menengah kebawah. Terakhir sang tokoh baik, Biyan.
Ayah Biyan kerap bermain perempuan sehingga keluarganya hancur. Sedangkan Biyan, karena tak ingin seperti wanita-wanita yang kerap ditiduri apanya, memilih untuk mempertahakan keperawanannya. "Bagi gue, kehilangan virgin (keperawanan) sama seperti kehilangan harga diri," tulis Biyan pada diarinya.
Untuk yang tak terlalu mengenal anak gaul dengan definisi Hanny Saputra penonton sangat mungkin terkaget-kaget melihat penggambaran remaja dalam film ini. Apa benar remaja kita sudah begitu jauh kebebasannya? Benarkah mereka sudah kebablasan?
Lihat saja ketika adegan dibuka dengan perbincangan ringan tiga orang sahabat di sebuah kaf! e di mal. Tanpa malu-malu pada pengunjung cafe lainnya, Stella memasukan ponsel berkameranya ke dalam seragam sekolahnya dan mengambil gambar dadanya. Kemudian dia melakukan hal yang sama kepada temannya, Biyan. "Tuh kan punya lo lebih gede," lalu datang Ketie, Stella kembali melakukan hal yang sama. "Haha, ternyata Ketie yang paling gede," mereka pun tertawa. Usai tertawa, Ketie mengejutkan temannya dengan sebuah pernyataan. "Gue ingin ngelepasin virgin gue!".
Untuk seks apa duit?" tanya Stella. Dengan tegas Ketie menjawab "Ya duit dong!"Kata-kata Ketie tersebut disambut gembira oleh Stella, "tuh kan gue tau lo nggak bertahan lama."
Sementara Stella dan Ketie menyusun rencana mencari om-om untuk melepas keperawanannya, Biyan hanya bisa terdiam. Walau dalam hati tak setuju ia hanya bisa diam dan membiarkan temannya itu melancarkan aksinya.
Tak lama seorang om pun ditemukan. Ketie datang men! ghampiri dua temannya, "dia mintanya 5 juta". "Minta 15, ya mentok-mentok 10lah," ujar Stella tenang.
Negosiasi lancar, di toilet khusus orang cacat di mal tersebut hilanglah keperawanan Ketie demi sejumlah uang yang akan digunakan untuk membeli handphone kamera dan baju-baju cantik demi pergaulan.
Tak hanya dirayakan dengan belanja habis-habisan. Pulang dari mal, dengan muka bahagia Ketie yang duduk di kursi belakang mobil melepas BH nya. Lewat jendela mobil yang sedang berjalan di tengah jalan raya Ketie mengeluarkan badannya, melambai-lamaikan BH nya dan melemparkannya ke mobil belakang yang kebetulan diisi om-om. Tentu saja si om kegirangan melihat aksi tersebut.
"Fenomena remaja kini mudah terpengaruh sama trend. Nah untuk menenuhi kebutuhan itu mereka masih tergantung sama orang tua. Nggak mungkin semua kebutuhan tren itu minta sama orang tua, makanya biasanya mereka terjerumus dalam hal-ha! l yang nggak bener," ujar Hanny Saputra sang sutradara beralasan tentang adegan-adegan nakal di filmnya.
Makin Tidak Halus
Semakin ke belakang film ini tak semakin halus lagi. Ketie yang sudah resmi tak perawan semakin giat mencari pelanggan di usianya yang 16 tahun. Dia baru sedikit terhenyak ketika seorang om-om melakukan kesalahan.
Kepada Biyan ia mengadu. "Aduh. Om itu. om itu..,". Adegan dipotong sampai disitu, menurut sang sutradara harusnya kata-kata selanjutnya adalah, "om itu keluar di dalam".
Namun kata-kata tersebut tak lolos di LSF. Hanny sebenarnya mengaku berat menerima putusan LSF karena niatnya memperlihatkan keliaran remaja menjadi kurang tergambarkan dengan baik.
Usai kata-kata tadi, temannya Stella menyambut dengan tawa. "Gitu aja pusing, minum obat peluntur, terus loncat loncat aja,"ujar Stella santai. Lalu, loncat-loncatlah Ketie di kamar mandi sekolahnya yang sempit demi menghindari kehamilan.
Tema seks sangat kental dalam film ini. Tapi maksud dan tujuannya tidak jelas. Semata-mata hanya ingin menunjukan potret remaja sekarang yang demi uang dan gaya hidup rela mengorbankan harga diri. Sekolah sebagai embaga pendidikan pun sepertinya diabaikan.
Berangkat kesekolah dengan rok super mini dan kancing yang terbuka sampai dada merupakan hal yang lumrah di sekolah antah berantah dalam film ini. Belum lagi tindikan dan tatto yang sudah dianggap sebagai asesoris sehari- ari.
Ada pula adegan dimana ketika ingin memamerkan tatonya, para siswi tak malu membuka bagian belakang roknya di depan kelas dan memamerkan tato tersebut kepada semua temannya dari jarak dekat.
Pelajaran "bergaul" yang dipaparkan dalam film ini memang sangat lengkap. Selain rokok slim yang tak pernah lepas dari tangan para tokoh dan minuman keras yang menjadi penghias tetap film, kata-kata kasar juga hal yang sangat biasa. Tak terhitung berapa kali penggunaan kata "A****", "F***", "S***" dan kata-kata makian gaya barat lainnya.
Semua karakter dalam film Virgin juga dipukul rata, menjadikan seks sebagai tema utama. Dalam suatu adegan tampil Ari Sihasale sebagai sutradara. Ketika harus memainkan adegan low scene, sang aktris tampak kaku. Ale sang sutradara dengan kesal berteriak. "Gimana sih, kayak nggak pernah ML aja, kaya nggak pernah ciuman." Bukannya kesal sang aktris menjawab," habis mulutnya bau om".
Lihat pula dialog berikut hingga perlu untuk memunculkan pertanyaan. Seperti inikah profil remaja saat ini? Sebuah botol diputar, yang ditunjuk oleh botol harus melepas pakaiannya. Ketika sudah mencapai puncak, melepas pakaian sepertinya mulai membosankan untuk mereka. Taruhan pun digandakan berkali-kali lipat.
"Lo pilih SP (oral sex) atau bugil," tantang Luna pada Stella. "Tanggung! ML aja sekalian," jawab Stella tak mau kalah. "Okey dua orang," Luna menjawab lagi. "Tiga sekalian," Stella menutup bursa taruhan. Setelah botol menunjuk sang korban, para lelaki yang ada di lokasi pun menggila. Sang korban langsung dibawa masuk ke sebuah mobil untuk membayar taruhannya tersebut.
Tidak Memberi Pelajaran
Penggambaran emosi yang cepat berubah dalam film ini cukup sering. Usai ditimpai kemalangan tak perlu banyak waktu untuk mengembalikan mood ereka, uang atau pesta saja sudah cukup membuat senang. Waduh!
"Remaja memang gitu. Agak bias antara kepedihan dan kesenangan dan kemudaan, mereka gampang berubah," jelas sutradara Hanny Saputra.
Film yang lolos dengan label dewasa ini agaknya sudah lari dari niat memberi pelajaran bagi para remaja. Belajar bagaimana bergaul yang buruk. Belajar bagaimana berpakaian yang buruk di sekolah maupun di luar sekolah, belajar menggunakan kata-kata kasar, dan belajar mengikuti kehidupan barat yang bahkan lebih barat dari aslinya.
Tak pantas rasanya jika film ini mengklaim sebagai gambaran remaja Jakarta. Apalagi sutradara Hanny Saputra mengakui kalau ia hanya melakukan riset selama dua minggu, itupun hanya di kawasan parkiran Senayan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar