Senin, Agustus 03, 2009

Manusia Dan Hubungan Horizontal Dan Vertikal?

(permintaan dari sebuah kegelisahan teman)
Dalam berbagai kesempatan, banyak diungkapkan mengenai hubungan manusia yang bersifat vertikal (hablumminallah) dan horizontal (hablumminannaas). Hubungan vertikal adalah hubungan antara individu dengan Tuhan, sedangkan hubungan horizontal adalah hubungan antar-makhluk. Pembagian ini menjadi begitu populer di kalangan manusia. Namun, popularitas pembagian tersebut, saya rasa memiliki permasalahan. Masalah yang saya maksud adalah ketika pembagian tersebut seolah-oleh menegaskan keterpisahan hubungan ketika suatu hubungan sedang terjadi. Misalnya, ketika saya sedang berhubungan dengan Tuhan, maka hubungan saya dengan makhluk sedang tidak aktif dan begitu pula sebaliknya, ketika saya sedang berhubungan dengan makhluk maka hubungan saya dengan Tuhan sedang tidak aktif.

Permasalahan di atas, menurut saya sudah menggejala dalam kehidupan manusia saat ini. Penyebab kondisi ini, jika ditelusuri, akan ditemukan pada problem sekularisme. Problem ini ditimbulkan ketika sekularisme mulai membagi wilayah aktivitas manusia menjadi privat dan publik. Wilayah privat adalah wilayah yang berkaitan dengan urusan pribadi dan hubungan dengan Tuhan masuk dalam wilayah ini. Kemudian wilayah publik adalah wilayah yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan manusia lain. Pembagian hubungan dengan Tuhan dan hubungan dengan manusia, membuat diri manusia menjadi retak atau terbelah dua. Oleh karena, tidak ada kesatuan dalam hubungan yang dijalin. Ketika hubungan yang satu aktif maka, hubungan yang lain tidak aktif. Itulah modus pribadi yang muncul, ketika pembagian vertikal dan horizontal menggunakan pendekatan sekularisme (secara tidak sadar ataupun sadar) dan tidak memiliki kesatuan (tauhid).
Permasalahan tersebut dapat diselesaikan dengan ber-tauhid, yang ditampakkan mulai dari berpikir hingga kepada tindakan. Dalam tauhid, Tuhan adalah pusat atau landasan berpikir dan bertindak. Tuhan menjadi tempat pertama atau dasar kita dalam melakukan segala sesuatu. Oleh karena, Tuhan sudah memberikan kita tuntunan berkaitan dengan apa yang akan kita lakukan, bahkan ketika berijtihad sekalipun (antum a’lamu bi umuuridunyaakum). Setelah bertolak dari Tuhanlah baru kemudian membangun sesuatu yang lain (berpikir hingga bertindak). Pola yang terjadi dalam aktivitas tauhidi ini, analoginya seperti sebuah selang yang terisi oleh air. Maka aktivitas dengan berbagai bentuknya “terisi” dengan ke-ikhlash-an (niat karena Allah).
Pada dasarnya, berpijak kepada pola tauhidi, segala aktivitas manusia tidak dituntut untuk dibarengi dengan rasa suka atau tidak suka. Misalnya ketika saya menolong seseorang, yang dituntut adalah semata-mata karena Allah. Sedangkan, ketika pertolongan itu juga diberikan disertai dengan rasa senang, itu berarti semakin menguatkan. Contoh lain adalah menuntut ilmu. Menuntut ilmu sebenarnya cukup dilakukan dengan dorongan semata-mata karena Allah. Dan ketika didorong oleh kesenangan, maka itu akan semakin menguatkan.
Contoh-contoh di atas, ingin menyampaikan pula bahwa dalam pola aktivitas tauhidi, segala sesuatu dituntut untuk menjadi ibadah – dengan ungkapan basmalah sebagai pembuka dan hamdalah sebagai penutup. Ibadah dengan pola tauhidi, yang ketika Allah dan Rasul sudah membuatkan pilihan tentang suatu hal, maka bagi muslim, tidak ada pilihan lain selain mengikuti Allah dan Rasul, bahkan ketika melakukan ijtihad. Tuntutan untuk menjadikan segala aktivitas menjadi ibadah ditujukan agar manusia terus beraktivitas tauhidi. Dan juga menjaga agar muslim menjalani kehidupan yang utuh (tauhidi) dan pribadi yang utuh (tauhidi). Tujuan lain adalah agar muslim tidak menjadi insan yang merugi, sebagaimana tersurat dalam surat Al-‘Ashr. Karena yang tidak merugi adalah orang yang beramal shalih dan itu berarti aktivitasnya bernilai ibadah. Dan banyak pula dikatakan dalam Al-Qur-aan dan Hadits, bahwa ciri-ciri muslim adalah menjauhi hal-hal yang tidak berguna. Dan dari pandangan yang tauhidi, hal-hal yang tidak berguna ini dapat dilihat sebagai aktivitas yang bukan ibadah.
Maka, sudah sepatutnya manusia, khususnya muslim, untuk hidup dalam keutuhan mulai dari pikiran hingga tindakan, keutuhan dari pribadi dan kehidupan. Janganlah mengikuti kehidupan yang dibuat dengan sekularisme, yang nyatanya tidak mengantarkan kepada kebahagiaan dunia dan akhirat, namun hanya keterpecahan diri, kehidupan dan kesengsaraan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar