Jumat, Mei 15, 2009

BK, Solusi Kenakalan Remaja

”Pasangan pelajar menginap di sebuah hotel’’. Begitu berita yang tersaji pertengahan Oktober 2008 silam di media terbitan Kepri. Bak bersambung, publik dikejutkan lagi berita siswi SMA melarikan diri bersama pacarnya dan menginap di sebuah hotel. Belum reda berita tersebut, muncul pula berita sejumlah pelajar ditangkap saat pesta minuman keras. Yang membuat miris dan terasa menyentak, pelaku dari semua peristiwa tersebut adalah remaja yang berstatus pelajar sekaligus calon pewaris bangsa ini. Pertanyaan yang banyak terlontar barangkali, ”kok bisa?’’, ”fenomena apakah ini?’’ dan ”mengapa itu bisa terjadi?’’.

Tulisan ini diilhami setelah membaca berbagai tanggapan di media massa akibat meningkatnya kenakalan remaja (pelajar) di Kepri belakangan ini. Rata-rata para pejabat yang menangani bidang pendidikan berkomentar, remaja yang mencoreng dunia pendidikan harus ditindak dan menjadi perhatian khusus (Kala Pelajar Mulai Menyimpang, Liputan Khusus Batam Pos, Minggu 2 November 2008). Orangtua disarankan harus mengawasi anaknya, tempat-tempat hiburan dan hotel meningkatkan pengawasan terhadap anak-anak sekolah. Ada pula opini yang menyarankan menjadikan Gurindam 12 sebagai karakter pendidikan Kepri (Batam Pos Sabtu, 1 November 2008) dan komentar-komentar lainnya. Saya menilai, apa yang dikomentari tak menyentuh esensi permasalahan. Namun semua tak ada salahnya. Hanya saja, kita harus menemukan apa yang menjadi solusi menekan atau mengurangi kenakalan remaja tersebut.


Saya lebih sepakat dengan komentar Dekha Dwi, pelajar yang juga pasukan pengibar bendera (Paskibra) Provinsi Kepri seperti dimuat Batam Pos, Minggu 2 November 2008. Sekali lagi, bukan hendak menyalahkan komentar lain. Dekha yang seorang pelajar itu menyarankan agar setiap sekolah mempunyai Badan Konseling (BK) untuk mencegah perilaku menyimpang yang dilakukan pelajar. ”Kami mengimbau pemerintah untuk lebih memperhatikan generasi penerus bangsa. Salah satu upaya pencegahan perilaku menyimpang adalah dengan mengadakan badan konseling di setiap sekolah,’’ ujar Dekha yang finalis Olimpiade Astronomi tingkat nasional tahun 2008.
Benar sekali kamu Dekha. Dan saya kira, inilah solusi yang tepat. Sebenarnya, Badan Konseling atau BK yang dulu disebut Bimbingan dan Penyuluhan (BP), harus ada di setiap sekolah dan menjadi syarat penting sebagaimana setiap sekolah harus memiliki perpustakaan. Wadah ini mungkin sudah ada di setiap sekolah, namun perannya barangkali kurang diperhatikan. Bisa saja karena sekolah tak mengetahui secara pasti apa manfaat dan kontribusi keberadaannya. Juga ia tak menjadi perhatian lantaran tidak ada personel yang secara khusus menangani.


Penyelenggara atau guru yang menangani BK di sekolah biasa disebut konselor. Istilah ini secara resmi digunakan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 dengan menyatakan konselor adalah pendidik dan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2005 menyatakan konselor adalah pelaksana pelayanan konseling di sekolah yang sebelumnya menggunakan istilah petugas BP, guru BP/BK dan guru pembimbing. Nah, berkaca dari fenomena kenakalan remaja yang terjadi, inilah momen peran Badan Konseling harus ditingkatkan dari selama ini yang hanya sekadar ada. Pada hakikatnya, tujuan BK sama dengan tujuan pendidikan nasional itu sendiri. BK merupakan proses pemberian bantuan agar anak didik mengenal dan menerima diri sendiri serta mengenal dan menerima lingkungannya secara positif dan dinamis serta mampu mengambil keputusan, mengamalkan dan mewujudkan diri sendiri secara efektif dan produktif sesuai dengan peranan yang diinginkannya di masa depan.


Sebagai penyelenggara BK di sekolah, terlebih dahulu guru memang harus memahami akan hakiki dari makna keberadaan BK itu sendiri, apa tujuannya, bagaimana fungsi dan perannya di sekolah. Setidak-tidaknya ada empat fungsi utama guru BK, antaranya: pemahaman individu dengan segala karakteristiknya, fungsi pencegahan, yakni mencegah perilaku negatif yang dapat menghambat perkembangan anak, fungsi pengentasan, yakni memberi bantuan dalam mengentaskan permasalahan, serta fungsi pemeliharaan dan pengembangan, yakni bagaimana memelihara dan mengembangkan potensi yang ada pada diri anak didik.


Sekolah sebagai lembaga pendidikan adalah tempat untuk mempersiapkan anak menghadapi kehidupan dengan sebaik-baiknya, baik sebagai pribadi, dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Secara sederhana, obyek-obyek dari BK dapat dikategorikan dalam tiga jenis yakni, bimbingan yang berhubungan dengan perkembangan pribadi (personal development), bimbingan yang berhubungan dengan pendidikan (education), dan bimbingan yang berhubungan dengan pemilihan pekerjaan atau bimbingan karier (vocational). Untuk dapat memenuhi fungsinya, beberapa tugas minimal yang harus dilakukan BK antara lain: Pertama, membantu anak supaya berhasil dalam studinya dengan cara memberi test yang sesuai untuk mengetahui intelegensi dan kemampuan anak. Kedua, menyelidiki minat dan latar belakang anak supaya diketahui latar belakang ekonomi, sosial, dan kebudayaan anak.


Ketiga, membantu memecahkan masalah-masalah yang mengganggu kelancaran studi anak, misalnya masalah keluarga, masalah pribadi, masalah belajar dan masalah pergaulan. Termasuk menekan dan menjauhkan anak dari masalah-masalah yang dapat mengganggu belajarnya dengan cara pengisian waktu luang, membantu dalam pemilihan hobi, membantu dalam bergaul, membantu memelihara kesehatan mental dan fisik serta mengadakan bimbingan secara individual maupun kelompok. Keempat, membantu anak dalam pemilihan pekerjaan dengan memberikan informasi mengenai jenis-jenis jabatan, memberikan informasi macam-macam perguruan tinggi serta mengajak anak-anak mengunjungi instansi-instansi ataupun industri-industri. Kelima, mengadakan kunjungan rumah guna memberi informasi kepada orang tua/wali tentang anaknya, dan meminta kerja sama orang tua/wali dalam ikut membantu pemecahan masalah anaknya di rumah maupun di sekolah.


Seorang guru BK, tak hanya harus memahami fungsi, tujuan dan perannya semata. Namun, dia harus khusus tanpa dibebani semisal tugas mengajar mata pelajaran di kelas dan merangkap jabatan lain di sekolah. Pun, guru BK haruslah benar-benar mereka yang kompeten. Artinya, BK membutuhkan tenaga-tenaga ahli, minimal ahli psikologi pendidikan dan bimbingan. Bahkan, untuk lebih bagus dapat ditambah dengan ahli di bidang pekerjaan sosial, dokter dan tenaga administrasi serta didukung fasilitas memadai untuk melakukan kegiatan yang bisa disejalankan dengan tujuan pendidikan.


Benar memang, untuk mengoptimalkan BK butuh biaya besar dan mahal. Namun bila dihayati dan dicermati secara seksama, bahwa guru BK eksistensinya sangat diperlukan. Apalagi kini kita dalam era globalisasi. Ke depan permasalahan semakin kompleks, baik lingkup internasional, regional, maupun nasional. Dampak dari semua itu akan berpengaruh terhadap perkembangan anak didik. Tingkat kerawanan yang menimpa anak didik perlu selalu dikhawatirkan, dan guru BK bertanggungjawab secara moral untuk mengantisipasi lalu memberikan bekal agar anak didik memiliki kekebalan terhadap bermacam-macam penyakit sosial.


Kita semua harus sepakat. Mungkin saatnya semua yang terlibat dalam peningkatan mutu pendidikan (pemerintah, legislatif dan pakar di bidang pendidikan) untuk bersama-sama mulai berfikir bagaimana memberdayakan wadah BK di sekolah-sekolah. Harapan minimalnya, ya dapat menekan keinginan-keinginan anak yang kurang menguntungkan. Jika anak didik sudah diberikan bekal yang cukup, maka apapun dampak dari modernisasi akan dapat disaring secara positif sehingga semua itu menjadi proses pembelajaran agar mereka dapat tumbuh dan berkembang secara dewasa. Ini berarti, tanggungjawab peningkatan mutu pendidikan tersebut merupakan tugas kita bersama. Kelak, kita berharap berita miris seperti yang sudah terjadi tidak terdengar lagi. Semoga.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar