Jumat, Mei 01, 2009

MENIKAHLAH DENGANKU

Si gadis sontak memerah kala lelaki itu melontarkan kata-kata tersebut. Senang dan bimbang bergejolak jadi satu. Senang karena sebagai seorang wanita tentunya hal tersebut sangat menyentuh perasaan. Diajak menikah dengan seseorang yang dicintai adalah suatu kehormatan tersendiri, permintaan yang tak tergantikan dengan berjuta keindahan yang lain. Namun usia yang masih belum cukup matang membuat si gadis bimbang. Bimbang karena masih belum yakin apakah lelaki tersebut adalah yang terbaik untuknya. Ataukah masih ada lelaki lain diseberang waktu yang ternyata lebih baik lagi untuk dia anggukkan kepala kala kata ajakan tersebut terlontar.

Dan, si gadis memilih untuk menunggu waktu yang menurutnya tepat. Sembari menanti lelaki lain diseberang waktu yang mungkin ada. Kemudian pergilah sang lelaki tersebut, meninggalkan si gadis yang sesaat tertegun sedih.

Namun ternyata ketertegunan itu tidak sesaat, berkepanjangan, bahkan bertahun-tahun lamanya kesedihan masih bergelayut di wajah cantik si gadis. Aku bodoh! Kenapa tidak aku terima tawaran menikah itu sehingga tidak perlu kehilangannya. Kehilangan lelaki yang ternyata teramat dia cintai dan dia butuhkan untuk menemani sisa harinya di dunia ini. Semakin sedih lagi kala si gadis tahu bahwa beberapa lelaki yang dia temui diseberang waktu ternyata belum ada yang bisa menggantikan sosok si lelaki. Sosok ideal yang dia harapkan sebagai penanam benih di rahimnya kelak.

Nasi sudah menjadi bubur, dan si gadis harus mulai sadar dengan keadaan yang ditawarkan. Melupakan si lelaki dan mulai menyambut kehadiran yang lain, atau diam terpaku di depan pintu kebahagiaan yang telah tertutup untuknya.

Memilih yang lain. Itulah akhirnya yang menjadi pilihan si gadis, kala dia menemukan sosok unik yang lain. Sosok yang bisa membuatnya terlupa akan segala kesedihan di masa lampau. Sosok yang kemudian dengan berjalannya waktu juga menyampaikan kata keramat yang sama,

“MENIKAHLAH DENGANKU”

Sontak si gadis menganggukkan kepala, merangkul penuh haru lelaki tersebut, dan menulis sebuah janji dalam hati bahwa tak akan dia sia-siakan tawaran si lelaki dengan menyia-nyiakan kehidupan mereka berdua kelak. Ya! Belajar dari pengalaman, si gadis tak lagi bimbang dan menunggu sesuatu di ujung waktu yang belum jelas ujudnya. Si gadis sudah cukup merasa nyaman berada disamping lelaki yang ini, dan itu sudah cukup buatnya.

Namun ternyata, garis hidup berkata lain.

Mereka berdua tak pernah melaju ke jalan pelaminan. Janji yang tertulis, kandas di hantam sebuah ombak perbedaan yang tak bisa ditoleransi oleh kokohnya karang cinta.

Dan belajar dari pengalaman lagi, si gadis tak mau berdiam diri terlalu lama di pintu kebahagiaan yang telah tertutup paksa untuknya. Dia segera pergi dan berlalu dari situ, dan mulai menemui lelaki-lelaki lain lagi diseberang waktu.


Banyak, teramat banyak bahkan yang datang kepadanya. Namun tak satupun yang bisa menggetarkan hati si gadis. Bukan karena dia masih terbelenggu oleh sosok di masa lampau, namun si gadis mulai selektif.

Lelaki satu, baik, kaya, namun termasuk pria manja. Dan si gadis tak menyukainya, maka beralihlah dia.

Lelaki kedua, baik, tidak manja, tidak romantis. Si gadis masih berlalu

Lelaki ketiga, baik, romantis, tidak manja, tidak juga kaya. Si gadis tetap berlalu

Lelaki ke empat, baik, romantis, tidak manja, kaya, namun tidak dewasa. Dan….. si gadis…. Mulai merasa lelah.

Terpekur sendiri disepinya waktu.

Haruskah aku bersyukur atau menyesal???

Disyukurinya bahwa hingga detik ini dia bahkan tak pernah benar-benar tahu apa itu arti tidak dicintai. Namun kenapa lelaki-lelaki yang datang itu selalu sosok yang bukan dia inginkan?? Kenapa pada saat dia sudah menemukan sesuatu yang pas, tetap saja itu harus terenggut darinya??

Si gadis terdiam, mencoba mencari sendiri akan jawaban pertanyaannya itu.

Hingga akhirnya dia menemukan jawab tersebut.

Yang harus aku sesali adalah kebodohanku sendiri. Kebodohan yang tidak pernah melihat sesuatu dengan hati. Kala hati berdengung keras mengatakan tentang pilihannya, dia abaikan hanya karena sebuah pemikiran yang didasari oleh pandangan kasat mata yang serampangan dalam menentukan sebuah nilai. Bukankah Tuhan memberikan sesuatu itu atas dasar apa yang dibutuhkan, bukan yang diinginkan oleh umatnya? Karena Tuhan pulalah yang paling tahu apa yang menjadi kebutuhan sang umat tersebut.

No body’s perfect rite?

Kemudian berkacalah si gadis di sebuah cermin kejujuran, dan ditemukan banyak kekurangan dalam dirinya. Teramat banyak malah. Jadi, sangat tidak fair jika si gadis kemudian menuntut sebuah kesempurnaan dibalik kekurangan diri yang sangat banyak itu.

Aah… sekarang aku tahu jawabnya!

Sebuah jawab yang kelak disampaikan kepada lelaki itu kala berucap,

MENIKAHLAH DENGANKU!


Ps : aku dedikasikan buat seorang kawan yang masih ragu akan kata hatinya. Hidup terlalu indah untuk diisi dengan printilan-printilan masalah yang tidak penting untuk dibahas sob!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar